Kisah Mantan Wakil Ketua MA yang Kembalikan Makanan dari Tetangga

Amsar
0



Jakarta, Investigasigwi.com - Pada zaman dulu, aturan gratifikasi belumlah dikenal seperti sekarang ini. Namun kisah para hakim menegakkan kode etik guna menghindari konflik kepentingan sudah banyak ditemui. Salah satunya dari kisah Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) R Satochid Kartanegara. Selasa, 04 Mar 2025


Kisah itu dikutip dari Awak Media Selasa (4/3/2025) dari buku ‘Prof Dr Satochid Kartanegara SH: Hasil Karya dan Pengabdiannya’ yang ditulis Poliman. Buku ini diterbitkan oleh Depdikbud, Juni 1981.


Satochid lahir pada 21 Januari 1899. Ia merupakan putra bungsu Bupati Karanganyar, Jawa Tengah (Jateng) kala itu, Kadis Kartanegara. Namun, saat Satochid berusia 3 tahun, ayahnya wafat di usia 40 tahun.


Selapas ayahnya wafat, Satochid diboyong ibunya ke kampung halamannya di Banyumas, Jawa Tengah. Di tanah yang dialiri Sungai Serayu itu, kehidupan sehari-hari ibu dan Satochid dibantu pamannya, Pangeran Ganda Subroto.


Satochid akhirnya mendapatkan pendidikan yang layak yaitu ke Kwartjes School. Satochid lalu dimasukkan ke Europese Lagere School (ELS) di usia 8 tahun selama 3 tahun. Hanya anak-anak pribumi yang ditetapkan oleh Gubernur Jendera Hindia Belanda yang bisa sekolah di ELS.


“Walaupun Satochid tergolong putra bangsawan, tetapi tidak angkuh dan sombong. Oleh karena itu ia mendapat banyak kawan. Ia bergaul dan bermain-main dengan siapa saja,” tulis Poliman.


Karena dari kecil sudah menggunakan bahasa Belanda bersama pamannya, ia mudah menyelesaikan sekolah di ELS dengan nilai yang memuaskan. 


Alhasil, ia melanjutkan sekolah ke Rechtsschool selama 3 tahun dan dilanjutkan boven-bouw 3 tahun juga.  Rechtsschool  merupakan sekolah hukum yang didirikan penjajah Belanda yang dididik menjadi ahli hukum agar kelak menjadi hakim/jaksa.


“Karena sifatnya yang tidak rendah diri dan terpuji kepada orang-orang Belanda, Satochid juga dapat menyamai kepandaian orang-orang Belanda dalam bidang ilmu pengetahun,” ujarnya.


Selepas lulus dari Rechtsschool, ia menjadi pegawai di Landraad (Pengadilan Negeri) Jakarta. Ia magang selama 5 tahun sebagai pembantu hakim Belanda. Setelah itu, barulah ia menjadi hakim dan berdinas di  Probolinggo, Malang dan Yogyakarta.


Cita-citanya tidak sampai di situ karena ia ingin kuliah lagi ke Belanda untuk menambah ilmu hukumnya.


“Lima tahun menjadi hakim, tabungannya hanya cukup membeli ongkos naik kapal ke Belanda,” kisahnya.


Alhasil, biaya belajarnya di Leiden, Belanda ditanggung oleh kedua saudara kandungnya, Sarengat dan Supangat. Alhasil, Satochid sangat berhemat dan serius kuliah.


“Satochid tak pernah beliau berpesta-pesta maupun pergi berlibur ke negeri tetangga seperti halnya yang dilakukan oleh kawan-kawan Indonesia lainnya.”


Di Belanda, Satochid bergabung dengan organisasi yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Salah satunya Perhimpinan Indonesia. Namun, Satochid tidak terlibat aktif dalam gerakan politiknya, hanya sebagia anggota pasif.


Atas ketekunannya, cukup 1 tahun bagi Satochid untuk menyelesaikan pendidikan di Leiden dan memperoleh gelar Sarjana Hukum. 


Sepulangnya ke Hindia Belanda, Satochid menjadi hakim di Landraad di Pamekasan, Nganjuk, Jakarta, dan Pontianak. Bahkan ia dipercaya sebagai Ketua Landraad Jakarta dan Ketua Landraad Pontianak.


Setelah itu, Satochid kembali ke Jawa dengan pindah tugas ke Ngawi dan Madiun. Saat dinas di Madiun, pemerintah Belanda runtuh setelah Jepang menyerbu Hindia Belanda.


“Karena Jepang dapat bertindak sewenang-wenang terhadap siapa saja yang dicurigai, maka Satochid sangat hati-hati dalam melaksanakan pekerjaannya yang setiap harinya berhadapan dengan orang Jepang,” tuturnya.


Di era Jepang, Satochid diberi jabatan sebagai Hakim Tinggi di Jakarta. Seiring pergolakan perlawanan melawan penjajah, Satochid akhirnya ikut berjuang dalam menegakkan kemerdekaan. Setelah kemerdekaan, Kusumah Atmaja menjadi Ketua Mahkamah Agung (MA) pertama. Satochid pun diminta bergabung.


“Setelah Bapak Kusumah Atmaja meninggal dunia, Satochid diangkat sebagai Wakil Ketua Mahkamah Agung,” kisahnya.


Keteladan Dalam Menjaga Integritas


Selama menjadi hakim agung/Wakil Ketua MA banyak keteladanan yang bisa dipetik bersama. Salah satunya saat harus mengadili temannya, Jodi Gondokusumo (Mantan Menteri Kehakiman). 


“Beliau mendapat agar menolak untuk mengadili teman dekatnya. Tetapi karena menjunjung tinggi kode etik kehakiman dan kekerasan hatinya memang sudah menjadi sifat beliau, maka beliau menjalankan tugas itu dengan tidak mau mengingkari sumpah jabatannya. Pekerjaan itu beliau anggap wajar dan beliau tetap dengan tidak memandang bulu,  baik lawan maupun kawan sendiri,” kisahnya.


Selama menjadi hakim, Satochid tidak luput dari cobaan dan godaan yang dapat dianggap menyelewengkan hukum. Seperti ditawari uang sogok, uang semir dan lain sebagainya. Seperti saat ia menjadi Ketua Pengadilan Pontianak.


“Seorang tetangga telah mengirimkan makanan kepada ibu Satochid Kartanegara. Satochid saat tiba di rumah pulang dari kerja, dan mengerti dari mana datangnya kiriman itu, seketika itu pula memerintahkan istrinya untuk memulangkannya,” tulisnya.


Istrinya pada waktu itu pula tidak tahu maksud dari suaminya. 


“Tetapi kemudian diketetahui duduk persoalannya, karena tetangga yang memberikan makanan adalah orang yang sedang kena perkara. Kebetulan Satochid yang akan memutuskan perkaranya di Pengadilan,” kisahnya.


Satochid akhirnya pensiun pada 1965 dan wafat pada 1971. Selain sebagai hakim, Satochid juga akif mengajar di berbagai kampus. Satochid juga ikut menggagas agar KUHP diperbaharui dan baru terwujud dengan lahirnya UU Nomor 1/2023.


( Red )

Posting Komentar

0 Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Ok, Go it!
To Top